Menunggu Sebuah Harapan
Catatan seorang pecundang yang ingin menggapai masa depan
Karya : Shing Adiwangsa
Cerpen Romansa Terinspirasi Lagu : Sheila On 7 - Berhenti Berharap
Semua orang pasti memiliki kisah tersendiri dibalik megahnya dunia yang indah ini. Kenapa aku mengatakan indah, ya… memang dunia itu indah bagi yang mensyukurinya. Syukur berarti merasa cukup terhadap apa yang dimiliki, dan memanfaatkan apa yang dimiliki dengan sebaik-baiknya. Aku sangat percaya bahwa setiap apa yang terjadi itu tak ada yang serba kebetulan, semua terjadi karena memang sebuah takdir. Takdir yang membawa ke pertemuan, takdir pula yang mempertemukan perpisahan.
Sebuah takdir yang bernama pertemuan terbawa bersama arus sebuah senyuman, tapi muara dari pertemuan adalah perpisahan. Siap bertemu berarti juga siap menanggung pisah. Banyak orang hanya ingin bertemu tanpa ada kata pisah, dan sebaliknya. Perpisahan adalah suatu momok yang menakutkan, harus dihindari, dan belomba-lomba berdo’a kepada Sang Pencipta untuk tidak bertemu dengan perpisahan. Manusia itu tidak sadar bahwa bertemu sudah memiliki pasangan untuk berpisah.
“Lhoh..! kamu ngapain disini ! Ini kan tempat nongkrong para cowok !” Kataku dalam keheranan. “Terserah aku donk…. ! Kita kan udah pisah, ngapain kamu ngikutin aku sampai kesini” Kata dia seorang cewek yang selama ini bersamaku. “Bagaimana kabarnya! kamu kok tidak pernah nemuin aku jika ku ajak ketemu!” Kataku kembali dengan penuh tanya
Tiba-tiba seorang cowok menyambut dengan sebuah senyuman, dan kurasa itu senyuman yang mengandung arti yang dalam. Seperti rasa cemburu yang bercampur dengan sebuah emosi yang tertahan.
“Itu lo…kamu dicari pacar kamu…” Kata seorang cowok yang tak kukenal
Bagaikan tersambar sesuatu yang menyakitkan, ternyata dia datang menemui seorang cowok yang tak ku kenal.
“Loh…loh… kamu itu siapanya ya mas!” Kataku dengan penuh keheranan “Tanya sama dia” Kata si cowok sambil menunjuk dia yang didepannya yaitu kekasihku dulu bernama Novi “Bentar-bentar, kamu itu pacar barunya ya mas!” Kataku “Tanya saja sama dia, biar dia yang menjelaskan” Kata si cowok menegaskan
Sekian menit sang cewek hanya bisa diam dan tersipu malu, tersenyum kepada sang cowok menandakan bahwa memang mereka menjalin hubungan. Disitu, waktu itu, reflek, mulai meningkat kinerja darahku, dan terpanggang bersama hati yang terbakar.
“Owh… ! Aku tahu kenapa dalam 1 bulan ini kamu menghindariku. Bahkan sejak pertengkaran itu, kenapa kau tak meminta maaf kepadaku. Ternyata sudah bersama cowok ini?” “3 Tahun hubungan kita, yang sudah ku jamin untuk sebuah keseriusan, tapi kamu meninggalkan begitu saja?” “Dimana hatimu, dimana kasih sayang yang kau ucapkan baru kemarin 1,5 bulan yang lalu untuk berjuang bersama sampai kepelaminan. Apa kau tidak ingat dalam janji itu, untuk tidak saling meninggalkan satu sama lain?” “Apa ini memang balesanmu atas pengabdianku selama 3 tahun untukmu, kau tahu aku tidak pernah sama sekali menghianatimu, bahkan selama ini baru kali ini ada pihak ke 3 yang masuk dalam kehidupan kita?.” “Apa maksudmu, apa maksud semua ini. Kau ingat baru kemarin kita merasakan aniverseri ke 3 tahun hubungan kita, baru kemarin kita merayakan ulang tahunmu, dan baru kemarin juga kita merayakan ulang tahun adikmu yang penuh kebahagiaan.?”. Penjelasanku mencari sebuah keadilan
Seketika semua diam dan hening, hanya luapan emosiku yang keluar dari kejelasan hubungan aku dan dia. Aku tak pernah menyangka dengan kejadian ini, dia yang ku yakin tak pernah tega menyakitiku begitu sadisnya sudah bersama dia untuk mengkhianatiku.
“Sebentar mas, kita sama-sama cowok. Biar dia yang memilih”. Kata cowoknya “Bukan urusanku sama kamu mas, ini urusanku sama dia!” Kataku dengan penuh luapan emosi “Aku tahu mas kamu sudah berakhir sama dia lama, aku baru 1 bulan sama dia, dan kita juga belum pacaran” Katanya lagi dengan penuh kemenangan
Kau tahu, aku pisah sama dia baru 1,5 bulan yang lalu karena ada permasalahan yang sebenarnya tidak fatal. Aku berfikir kenapa dalam 1,5 bulan ini dia tidak meminta maaf kepadaku, dan tidak ingin berubah atas apa yang telah dia lakukan dalam kesalahannya. 1,5 bulan pula aku menunggu dia datang padaku hanya untuk sekedar minta maaf, 1,5 bulan itu aku memperbaiki diriku agar aku layak bersanding dengan dia seorang bidadari surga dalam sebuah ikatan dipelaminan. Aku berjuang untuk mewujudkan janjiku untuk menikahinya, karena memang aku sangat menyayanginya. Kau tahu, dia sudah ku kenalkan dengan keluargaku bahkan kedua orang tuaku sangat menyayanginya yang kelak menjadi anaknya.
Aku dan keluargaku pula telah merencanakan 4 bulan kedepan untuk memberi sebuah kejutan agar aku diterima sebagai calon menantu untuk sesorang yang akan menjadi ayah dan ibuku kelak. Setelah kejadian pertengkaran itu, aku masih setia kepadanya dan tetap berjuang mewujudkan mimpi-mimpi yang pernah kita rencanakan. 1,5 bulan itu aku menunggu, membuka lebar pintu maafku, dan berusaha menghubunginya langsung atau tidak langsung. Tapi semua sia-sia, tak ada jawaban apapun, tak ada kejelasan apapun sekian waktuku menunggu. Aku sendiri hanya berpura-pura baik-baik saja dihadapan kedua orang tuaku terhadap hubunganku dengannya, oh Tuhan… begitu sadisnya aku yang membohongi ke dua orangtuaku untuk dia yang ku kira sangat setia. Setiap kali orang tuaku bertanya keadaan hubungan kami, aku selalu berbohong dan disaat itu mulailah tetesan ketulusan mengalir yang tak bisa kutahan membasahi pipi. Seakan menyesakkan hati, aku berusaha menemuinya untuk sebuah kejelasan. Aku datang kekampusnya, dan sialnya dia tak pernah menemuiku bahkan dia tak pernah kelihatan kalau ada aku. Entah dia sengaja atau tidak, aku tak pernah tahu.
1,5 bulan setetes demi tetes semua berlinang begitu saja, aku tak pernah tahu berapa liter yang kuhabiskan untuk meratapi hubungan yang berantakan ini. Setiap detik, setiap sujudku, masih tak terlepas namanya dalam doaku. Memang impianku kami bisa bersanding dalam hubungan yang halal, dan dia menjadi sesosok ibu yang membimbingku dan anak-anakku kelak. Sungguh indah rencanaku dan keluargaku untuk memiliki bidadari yang cantiknya alami, yang sangat setia, yang begitu menawan, dan jauh dari seseorang yang kukenal sekarang.
“Ya sudah mas, disini, ditempat ini, bahkan tempat favoriku untuk mencari inspirasi, aku melepaskan dia untukmu. Jagalah dia seperti aku menjaga dia selama 3 tahun ini, mungkin kau lebih sempurna dari pada aku yang pecundang ini. Dia sukanya minta foto dan menjadi seorang model ketika jalan, makanan favorinya mie ayam terutama daerah A dan B, minumannya selalu es teh. Aku mengaku kalah mas, selamat ya atas hubungan kalian”. Kataku dengan raut kekalahan
Aku meninggalkan mereka dengan hati yang berantakan, aku tak tahu kemana arah yang akan ku tuju. Aku memacu motorku di keheningan malam, dengan suasana hiruk piruk kota dengan hati yang lebam. Air mataku tak henti-hentinya mengalir dalam diam, mengalir bagaikan sumber yang teramat dalam. Aku berhenti sejenak dalam tempat yang sepi, melampiaskannya kedalam sunyi. Aku teriak dalam pekatnya sang hitam, membenamkan dalam sebuah lamunan. Kalau kedatanganmu untuk pergi, kenapa mengucap sebuah janji. Kalau cintamu hanya semu, mengapa kau tetap bilang cinta padaku. Kau tahu, ada harapan yang terbelenggu. Ada sebuah janji yang dengan kasarnya kau ingkari. Ada rasa yang kau bawa membumbung tinggi, dan kau pergi dengan dia yang tak ku kenali. kenapa harus sedalam ini, yang sudah ku persiapkan untuk memantaskan diri. Oh Tuhan….. kenapa sebuah keseriusan dibalas dengan sandiwara candaan. Ataukah memang aku bukanlah seseorang yang pantas untuknya, untuk berlabuh menjadi pendampingnya. Aku yang sadar bukanlah yang sempurna, yang mendambakan dewi fortuna. Ah sudahlah, semua adalah sia-sia. Yang ku pupuk dari benih menjadi dewasa, dan akhirnya setelah sempurna aku di tinggalkan jua. Begitu menyakitkan……
Aku menyusuri jalanan untuk pulang, dan berharap ini sebuah mimpi yang tak menjadi kenyataan. Dalam perjalanan, yang terlihat semua orang itu menyebalkan. Dalam terpaan angin malam aku masih menangis dalam diam. Aku pulang dalam keadaan yang sendu, meyapa orang tuaku dan aku langsung memeluk ibuku. Dalam pelukannya aku menangis sejadi-jadinya, disaksikan seluruh keluargaku yang mengkhawatirkanku karena seharian aku belum pulang tanpa mengabarinya. Mereka merubutiku, seakan-akan aku mengalami musibah yang begitu pilu. Aku tak bisa berkata apapun, hanya tangisanku yang melantun.
20 Menit berlalu aku masih dipelukan ibuku, aku mulai berbicara menceritakan apa yang telah terjadi. Disaat itu aku tak tahu harus bagaimana, ibuku pun tangisannya mulai berpantun seiring jeritan air mataku mengalir dengan tulusnya. Sungguh haru, dan sangat pilu. Kau tahu… bukan hanya kekecewaanku, tapi keluargaku yang telah menaruh harap kepada dia yang ingin dijadikan menantu. Kekecewaan kami semua menjadi satu dalam kurun beberapa waktu. Malam itu, aku tidur bersama orang tuaku yang masih memikirkan kejadian yang telah lalu. Ibuku selalu berkata, “ikhlaskan….. jangan menyalahkan siapapun, karena itu bukan jodohmu. Inilah takdirmu, bukan bersama dia yang telah mengkhianatimu, tapi bahagialah menjemput jodohmu yang akan menemuimu”. Kau tahu.. Hal tersakit dalam sebuah cinta adalah ketika kau sudah menyusun sebuah masa depan dengan indahnya, kau dihempaskan dia pergi bersama orang lain. Bahkan keluargamu sendiri yang menjadi korban keganasan sebuah cinta dengan dia yang tak menghargaimu.
1 Bulan berlalu, aku masih seperti yang dulu saat kejadian malam itu. Menangis, kecewa, sedih, tak kuat menahan beban derita yang sangat tak ku sangka. 1 Bulan itu aku selalu ditemani orang tuaku ketika malam menyapa, 1 bulan yang menyiksa akal fikiran, kesehatan dan batin yang merantakan. Setiap malam aku tak bisa tidur, hanya bisa neratapi dan menangisi sesuatu yang telah pergi. 1 bulan aku tak nafsu makan, sehingga kesehatanku pun mulai tak beraturan. 1 bulan aku tak bekerja sehingga tak punya penghasilan. 1 bulan berlarut dalam kesedihan sehingga aku lupa akan kulyah yang hampir sampai pada akhir penantian. Yang begitu menyesakkan hingga membuat berantakan itu karena sebelum berpisah kita sama-sama mengucap sebuah janji untuk tidak saling mengkhianati, membuat komitmen untuk tak saling meninggalkan, dan berjuang untuk selalu mensupport satu sama lain hingga menjadi kakek nenek dikemudian hari. Bila kisah itu adalah sebuah investasi waktu yang berakhir pilu, maka biarkanlah aku mengucapkan terima kasih untukmu karena kamu membuatku belajar untuk menahan rindu. Indahnya mimpi-mimpi itu, hingga akhirnya berubah menjadi pilu.
Memasuki bulan ke 2 semua masih seperti biasa, masih berkecimpung dengan masalalu yang sudah entah kemana. Aku mencoba bangkit dengan berinteraksi dengan sosok-sosok yang baru. Aku memulai membuka kembali sosial media yang dulu ku tinggalkan begitu saja, untuk mencari hiburan dibalik berandanya. Aku mencoba mengorek informasi tentang kuliahku yang beberapa waktu tak terurus, karena aku terlambat untuk mengajukan judul skripsi yang menjadi momok para mahasiswa tingkat akhir. Entah kenapa aku mencoba menghubungi sesosok wanita yang belum kukenal untuk sharing terhadap skripsi yang selama ini ku tinggal. Entah mengapa aku memilih dia, dan entah mengapa pula aku meminta kontaknya untuk sharing lebih lanjut, dan diapun meresponnya.
“Assalamualaikum”. Sapa dalam do’a Vita
Inilah yang menjadi ciri khasnya, salam dengan nada asing yang belum pernah ku dengar sebelumnya. Tapi dengan lembut suaranya, mengalunkan suara merdu dengan indahnya. Hari itu aku menelfonnya untuk membicarakan pendahuluan skripsi yang aku masih bingung untuk memulainya. Dari sini aku banyak belajar darinya, semua yang dia jelaskan membuatku faham dan mengerti akan bab per bab dari skripsi itu. Dengan semangatnya dia menjawab semua pertanyaanku, bahkan dari hal terdetail aku dijelaskannya hingga benar-benar memahaminya. Tak terasa 2 jam pembicaraan kami, dipagi hari, dengan hembusan angin pagi yang menyejukkan hati.
Vita, nama yang indah ketika ku sebut pada waktu itu. Dia sosok yang menjadi moodbosterku, dengan dia aku bisa tertawa, dan dengan kehadirannya dia merubah hidupku yang kelam terhadap masa lalu. Aku belum berani pembahasan diluar skripsi, tapi dialah yang memintaku bahwa pertemuan ini bukan hanya soal skripsi. Dia meyakinkan ku bahwa setiap pertemuan dan perpisahan itu sudah di atur oleh-Nya, dan segala pertemuan itu tak ada yang seba kebetulan, semua sudah menjadi takdir kapan dan dimana pertemuan itu terjadi. Termasuk pertemuan antara aku dan dia, semua berawal dari skripsi dan dia berharap menjadi teman sampai nanti.
Berbulan-bulan aku tak mampu tersenyum sekarang dia merubah hidupku untuk dapat melanjutkan hidup lagi, aku mulai bercerita tentang masa laluku yang kelam yang baru kemarin terjadi. Dengan senyumnya dia berbicara untuk membantuku agar bisa bangkit dan melupakan masa lalu yang kelam itu, dia akan selalu menemaniku hingga kami menjadi sarjana dalam wisuda bahkan untuk selanjutnya. Aku berfikir apakah ini memang wujud dari do’aku agar aku disegerakan bisa dipertemukan dengan jodohku. Entahlah, hanya takdir yang bisa menjawabnya.
Waktu terus berputar hingga kami berhasil mengerjakan skripsi yang seharusnya sukar. Aku banyak belajar dari penelitian-penelitian terdahulu untuk lebih memahami isi dari skripsi itu. Yang lebih membuatku haru, sifatku dan dia mengalami kesamaan dalam pengucapan, cara bercanda, dan memiliki hobi yang sama. Memiliki fans club bola yang sama, genre music yang sama dalam idolanya, suka lagu yang sama, bahkan makanan favorit pun mengalami kesamaan. Itulah yang membuat kami cepat akrab, bahkan baru kenal setelah sekian lama dalam lingkungan yang sama. Kami saling mensupport satu sama lain dalam keindahan takdir yang mempertemukan kita. Karena memang takdirlah yang mempertemukan aku dan dia, takdir pula yang membawa perubahan dalam kehidupanku.
Sekian waktu berlalu, keindahan tercipta dengan dia. Skripsipun berlalu dengan revisi dari dosen pembimbing masing-masing, dan disitulah letak kelemahan dia. Dengan revisi dia down dengan fikirannya, dan akupun membantu mensupportnya hingga dia semangat kembali untuk mengerjakannya. Dalam sedih, ada tawa. Dalam canda, ada semangat yang harus kami bawa. Segalanya begitu cepat hingga membuat perubahan dalam diriku begitu pesat. Aku mulai ikhlas terhadap masa laluku, dan bangkit menatap masa depan yang disampingku ada dia yang selalu memberikan dukungan untukku. Dia memberikan harapan-harapan baru untuk ku tetap maju tanpa melihat masa lalu. Yang lalu ikhlaskan, tataplah masa depan yang baru. Indahnya motivasi dari dia, seindah senyumnya yang membuatku luluh akan hadirnya.
Dia mulai membuka diri tentang masa lalunya, dia ditinggal oleh kekasihnya dulu dan sekarang masa lalunya bersama orang lain. Dengan curhatan itu, aku pun mulai berani masuk dalam kehidupannya. Karena posisi sama, pernah ditinggal bersama masa lalu untuk dia bersama orang lain. Ya… kita sama-sama korban dari keganasan cinta yang sebenarnya fana. Akupun mulai merasa nyaman dengan dia, cara bicara, cara bercanda, dia mewakili diriku. Bagaikan pembicaraannya adalah cerminan dari cara bicaraku, aku sempat berfikir apakah memang dia dikirim oleh Tuhan untuk melengkapi kekuranganku.
Suatu hari ada sesuatu yang membuat kami berhenti komunikasi, awalnya aku tak tahu apa penyebabnya. Tapi setelah kejadian itu aku mulai menyadarinya. Aku bertemu dengan masa lalunya yang mengenalku, dan seakan ekspresinya mengetahui kalau aku menjalin komukasi dengan dia wanita terindahnya itu. Setelah ku selidiki, ternyata benar. Aku bertanya kepada vita apakah masa lalunya mengetahui komunikasi kami, dia menjawab “iya.. baru kemarin”. Dalam hatiku bertanya, katanya masalalunya sudah bersama orang lain tapi kenapa kok masih saling komunikasi bahkan bertemu dengan indahnya menceritakan aku kenal sama dia. Aku merasa ada yang ganjal terhadap pertemuan itu. Dalam waktu yang sama, semua ku introgasi terhadapnya. Satu kalimat yang membuatku tercengang, bahkan sempat membuatku hancur berantakan.
“Kita tidak ada hubungan apa-apa kan mas, kenapa harus kecewa sih, kita kan hanya teman. Dia lo biasa sama kamu”. Katanya dalam sebuah kejelasan
Pernyataan yang telah menjawab segalanya, pernyataan yang membuat kejelasan atas komunikasi selama ini. Bahkan dalam chat selanjutnya terfokus pada permasalahan skripsinya, dan melupakan segala sesuatu yang pernah kita bicarakan pada waktu lalu. Dulu dia yang meyakinkan ku untuk tidak fokus pada skripsi, dan pada saat ini dia bilang pertemuan kita hanya sebatas skripsi. Ada apakah sebenarnya ini, aku belum tahu apa yang terjadi.
Keesokan harinya aku baru menyadari bahwa dia telah balikan pada masa lalunya yang katanya meninggalkan dia untuk wanita lain. Begitu cepatnya kah harapan-harapan yang dia berikan, begitu cepatnya pula dia hilang dan kembali kemasa lalunya. Semuanya membuatku tak percaya, kalau memang dia masih komunikasi baik dengan masa lalunya kenapa dia bilang ditinggalkan demi wanita lain. Kalau memang masih komunikasi dengan baik, kenapa tidak bicara hingga akhirnya aku menaruh harapan untuk dia. Setelah semua terjadi hampir dalam, dengan begitu sajakah mencabut apa yang telah dia tanam. Dia yang mengajarkanku banyak hal untuk bangkit, tapi dia pula yang memberikan luka kembali kemasa yang sulit.
Kau tahu, rasanya bisa bangkit dan memiliki semangat kembali. Kau memiliki harapan baru dan kau memiliki impian yang tinggi untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Tapi setelah kamu terbang tinggi setinggi-tingginya dengan harapan yang dia berikan, kau dijatuhkannya sedalam-dalamnya dalam jurang kehancuran. Ya, seperti itulah gambaran keadaan ku saat itu. Inilah sandiwara kehidupan yang nyata, seakan aku adalah actor ketiga dibalik kisah cinta mereka. Dia menuliskan cerita dan mengambil beberapa actor didalamnya, setelah actor yang dia incar masuk dalam sandiwaranya, dia melakukan peran mengontrol para pemainnya. Semua berjalan baik, dan dia mendapatkan apa yang di inginkannya. Setelah itu, satu persatu pemain di bunuhnya, hingga dia mendapatkan apa yang menjadi tujuan dari endingnya. Sungguh indah harapannya, sungguh indah cerita pendek yang menjadi korbannya. Semuanya begitu cepat, mereka mengakhiri cerita dalam skenarionya dengan senyum kebahagiaan yang mereka dapat. Sedangkan aku, seakan tersangka dalam perebutan kasih mereka, yang tentunya dipandang hina. Korban yang ditersangkakan, yang hina disemua tatapan, dan berakhir dengan kesedihan. Aku hanya bisa diam, tanpa kata, dan hati berderai air mata.
Aku sampai sekarang masih tak bisa berfikir tentang hati manusia, sekarang A, besoknya B, apalagi selanjutnya. Dulu orang yang ku yakin tak akan pernah melukai hati, yang ku percaya 100%, dengan sadisnya mengkhianati dan merusak kepercayaan yang sudah ku berikah seutuhnya. Kepercayaan ku sudah kuberikan, hatiku seutuhnya untuk dia, bahkan 80% hidupku ku abdikan untuk dia yang tak ku sangka begitu tega. Dalam do’a selalu ku ucap nama dia, dalam nyata selalu kuberikan waktu, jiwa, dan ragaku sepenuhnya. Tapi apalah daya, 3 tahun berlalu hanya sia-sia karena pihak ke 3. Apalah arti janji, apalah arti komitmen, apalah arti keseriusan, apalah arti ketulusan, jika semuanya tinggal sebuah angan.
Ditambah lagi cerita yang menyayat dari sesorang yang memberi harapan kebangkitan, dan ujungnya juga sama…. Patah hati, sakit hati, kecewa, dan luka. Oh Tuhan, begitu sadisnya mereka memperlakukanku. Aku tak tahu Tuhan, aku harus apa dan bagaimana. Aku malu menjemput harimu, aku putus asa menerima jalan hidup yang nyata. Aku menjerit dalam do’a, mengisak tangis dalam kepasrahan, berteman dengan kesedihan, dan berharap hidup yang pahit ini berakhir dalam kematian.
Disini, diwaktu ini, aku menuliskan kenangan pahit yang membuat hatiku menjerit. Aku malu kepada orang tuaku karena tega menyakiti mereka, aku malu kepada tetangga jika akhirnya berakhir juga. Aku malu kepada mereka karena aku benar-benar menjadi seorang pecundang yang selalu kalah karena memiliki kekurangan. Aku takut keluar, karena aku takut ketemu dengan dia yang telah bahagia dengan pilihannya. Sedangkan aku masih terpontang panting menjadi seorang pecundang yang dibuang dari kalangan. Mereka semua telah bahagia dengan orang-orang terkasihnya, sedangkan aku belum ada perubahan apapun. Aku yang tak sempurna ini, merasa pantas untuk menjadi bahan yang di buang dari kehidupan ini. Aku trauma akan wanita, aku juga suudzon kepada para wanita bahwa mereka memiliki hati yang sama. Aku trauma akan segalanya… kepercayaan, ketulusan, bahkan orang baik pun bagiku hanyalah fatamorgana. Hidup ini kontras, hanya hitam dan putih. Warna bukan menampakkan keindahannya, warna hanya hiasan yang ujungnya juga hitam dan putih pada akhirnya.
Aku masih menunggu harapan yang kuharap menjadi sebuah keajaiban, aku trauma akan hubungan. Jika aku boleh memutar waktu berjalan, aku tak ingin menjalin hubungan dalam ikatan pacaran. Aku benci akan kata cinta dalam pacaran, karena semua hanya hiasan hubungan dan belum tentu takdir yang melanjutkan. Aku hanya bisa berharap kepada Tuhan untuk bisa cepat dipertemukan dengan jodoh yang sudah ditakdirkan. Aku mendambakan ikatan dalam sebuah janji suci dalam pernikahan. Aku berdo’a, berharap, dan selalu memanjatkan lantunan cerita dalam sujud ditengah keputus asaan akan kehidupan. Aku masih bertahan, walaupun tak tahu entah sampai kapan.
Dan aku masih menunggu akan harapan itu…. Selalu…. Hingga waktu akan menjemputku…. Ku titipkan cerita ini untukmu, bersama hati yang rapuh dalam pilu, dan tak tahu entah sampai kapan semuanya berlalu….