Blogger Widgets

Senin, 25 November 2013

Makalah Pandangan NU tentang Budaya Adat-Istiadat Jawa



MAKALAH AGAMA

PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA
TENTANG BUDAYA ADAT-ISTIADAT JAWA



 












PEMBIMBING :
FATKUR MUIN, SAg., MM

DISUSUN OLEH :
NUR AGUS MAULAN
KELAS B MANAJEMEN



SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI
CENDEKIA
BOJONEGORO



KATA PENGANTAR
           Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada tim penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul: PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA TENTANG BUDAYA ADAT-ISTIADAT JAWA
            Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
            Tim penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, tim penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, tim penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
            Akhirnya tim penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.


Penulis







DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I           :  PENDAHULUAN
  1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
   1.2 Rumusan Masalah.................................................................... 1
  1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................... 1
                          
BAB II            : PEMBAHASAN
2.1 Proses Agama Islam Masuk Ke Tanah Jawa........................... 2
2.2 Nahdlatul Ulama...................................................................... 4
2.2 Pandangan Nahdlatul Ulama
      Terhadap Budaya Adat-istiadat Jawa..................................... 5

BAB III            : PENUTUP
3.1  Kesimpulan ............................................................................ 9
3.2  Kritik dan Saran ................................................................... 10




 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG MASALAH
Sebelum Islam masuk ke tanah Jawa, mayoritas masyasarakat jawa menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Selain menganut kepercayaan tersebut masyarakat Jawa juga dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya Hindu dan Budha dari India. Seiring dengan waktu berjalan tidak lama kemuadian Islam masuk ke Jawa melewati Gujarat dan Persia dan ada yang berpendapat langsung dibawa oleh orang Arab. Kedatangan Islam di Jawa dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan kubur bernama Fatimah binti Maimun serta makam Maulana Malik Ibrahim. Saluran-saluran Islamisasi yang berkembang ada enam yaitu: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.
Dengan seiring berkembangnya zaman, Islam mulai terpecah menjadi beberapa aliran dan organisasi. Salah satunya adalah Nahdlatul Ulama yang menjadi basis terbesar di Indonesia, terutama ditanah jawa. Nahdlatul Ulama sangat erat kaitannya dengan ajaran Walisongo yang menyiarkan agama ditanah jawa, dan Nahdlatul ulama memiliki pandangan tersendiri mengenai Budaya adat istiadat yang sangat kental ditanah jawa.
1.2  RUMUSAN MASALAH
2.1 Bagaimanakah proses agama Islam masuk ke tanah Jawa ?
2.2 Apakah organisasi dan aliran Islam Nahdlatul Ulama ?
2.3 Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama mengenai Budaya dan Adat-Istiadat
      Jawa ?
1.3  TUJUAN DAN MANFAAT
3.1 Mengetahui proses agama Islam masuk ke tanah Jawa.
3.2 Mengetahui organisasi dan aliran Islam Nahdlatul Ulama ?
3.3 Mengetahui pandangan Nahdlatul Ulama mengenai Budaya dan Adat-Istiadat
      Jawa.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PROSES AGAMA ISLAM MASUK KETANAH JAWA
Di Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana Majapahit.
A.    Masyarakat Jawa Sebelum Islam Datang
Situasi kehidupan “religius” masyarakat di Tanah Jawa sebelum datangnya Islam sangatlah heterogen. Kepercayaan import maupun kepercayaan yang asli telah dianut oleh orang Jawa. Sebelum Hindu dan Budha, masyarakat Jawa prasejarah telah memeluk keyakinan yang bercorak animisme dan dinamisme. Pandangan hidup orang Jawa adalah mengarah pada pembentukan kesatuan numinous antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati yang dianggap keramat.
Di samping itu, mereka meyakini kekuatan magis keris, tombak, dan senjata lainnya. Benda-benda yang dianggap keramat dan memiliki kekuatan magis ini selanjutnya dipuja, dihormati, dan mendapat perlakuan istimewa.
Pengaruh Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah melalui proses akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga berpengaruh terhadap sistem agama.
Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba memuat).
B.     Peranan Wali Songo dan Metode Pendekatannya
Era Wali Songo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Wali Songo adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa peranan Wali Songo sangat besar dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa.
Di Pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisongo (9 wali). Wali ialah orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Para wali ini dekat dengan kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan pengesahan atas sah tidaknya seseorang naik tahta. Mereka juga adalah penasihat sultan.
Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim). Inilah wali yang pertama datang ke Jawa pada abad ke-13 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik. Dimakamkan di Gresik, Jawa Timur.
  2. Sunan Ampel (Raden Rahmat). Menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Beliau merupakan perancang pembangunan Masjid Demak.
  3. Sunan Drajad (Syarifudin). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama di sekitar Surabaya. Seorang sunan yang sangat berjiwa sosial.
  4. Sunan Bonang (Makdum Ibrahim). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang. Sunan yang sangat bijaksana.
  5. Sunan Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka Said). Murid Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di Jawa Tengah. Seorang pemimpin, pujangga, dan filosof. Menyiarkan agama dengan cara menyesuaikan dengan lingkungan setempat.
  6. Sunan Giri (Raden Paku). Menyiarkan Islam di Jawa dan luar Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku. Menyiarkan agama dengan metode bermain.
  7. Sunan Kudus (Jafar Sodiq). Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah. Seorang ahli seni bangunan. Hasilnya ialah Masjid dan Menara Kudus.
  8. Sunan Muria (Raden Umar Said). Menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak antara Jepara dan Kudus, Jawa Tengah. Sangat dekat dengan rakyat jelata.
  9. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Seorang pemimpin berjiwa besar.
Salah satu cara penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para Wali tersebut ialah dengan cara mendakwah. Penyebaran Islam melalui dakwah ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat (sebagai objek dakwah), dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya. Di samping itu, para ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren sebagai sarana pendidikan Islam.
2.2  NAHDLATUL ULAMA
A. Sejarah
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
B. Paham keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
2.3 Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Budaya Adat-Istiadat Jawa
A. Sedekah Bumi
Bersih desa/selamatan desa, ambengan, kenduri dan lain sebagainya memiliki intisari dari tradisi-tradisi tersebut adalah sedekahan untuk meminta ridho Allah SWT. Supaya dijauhkan dari bencana dan bala’, bersih desa/ sedekah bumi hukumnya boleh jika niatnya untuk meminta ridho Allah SWT dan ingin dihindarkan dari bahaya penyakit, pagebluk dan lain-lain agar desanya selalu diberi keselamatan oleh Allah SWT. Kalau niatnya seperti itu hukumnya sunnat, sebab sedekah pada prinsipnya merupakan ajaran islam. Sabda nabi Muhammad SAW :
اَلصَّدَقَةُ تَمْنَعُ سَبْعِيْنَ نَوْعًا مِنَ الاَنْوَاعِ الْبَلاَءِ اَهْوَانُهَا الْجَدَامُ وَالْبَرصُ (درة النّاصحينَ
Shodaqoh itu dapat menolak tujuh puluh macam bala’ dan bencana yang paling ringan diantaranya ialah penyakit kusta dan belang/sopak

Dari hadits di atas, sudah jelas dan terang jika sedekah bumi atau kenduri tujuannya ”ridho Allah” dan niat bersedekah hukumnya sunnat. Jika sedekah bumi/bersih desa yang disertai sesaji dan penghormatan danyang/ yang mbahurekso /penjaga desa tersebut, maka adat kebiasaan itu haram (peninggalan animisme) oleh sebab itu marilah kita dari umat islam yang awam kita beri pengarahan dan pengertian agar tidak terus menerus melakukan kesyirikan. Adapun sesaji ini bukan dari ajaran islam melainkan peninggalan dari kuma (non muslim) sebab pelaksanaannya amat berbeda dengan sedekah . Sesaji tujuannya diperuntukkan pada para dewa-dewa/arwah-arwah tertentu seperti membuat cok bakal untuk para danyang, menyiapkan makanan dan minuman yang diperuntukkan orang tuanya yang meninggalkan, sebab menurut kepercayaanyaorang tuanya yang sudah mati pada malam itu pulang minta makan,minum dan lain-lain.
B. Tahlilan
Membaca tahlil atau Surat Yasin sejatinya adalah berzikir; zikir yang bertujuan mendoakan keluarga yang telah wafat. Hal itu bisa dilakukan secara individual maupun berjamaah. Jika dilakukan secara individual, maka kita bisa melakukannya kapan saja dan di mana saja. Jika dilakukan secara berjamaah, tentu harus berkumpul di tempat khusus. Zikir yang dilakukan secara bersama-sama, merupakan ibadah yang dianjurkan oleh Islam. Rasulullah SAW bersabda:
لاَيَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ عَزَّوَجَلَّ إِلاَّحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ (رواه مسلم)
Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berzikir kepada Allah Swt, kecuali mereka akan dikelilingi oleh para malaikat. Allah Swt. akan melimpahkan rahmat kepada mereka, memberikan ketenangan hati, dan Allah akan memuji mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya. (HR. Muslim)
Imam as-Syafi’i ra. menyatakan: “Sesungguhnya Allah Swt. telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, bahkan juga memerintahkan kepada Rasul-Nya. Apabila Allah Swt. memperkenankan umat Islam mendoakan saudaranya yang masih hidup, tentu diperbolehkan juga mendoakan saudaranya yang telah wafat. Dan barokah doa tersebut Insya Allah akan sampai kepada yang didoakan.
Dalam hadits riwayat Aisyah ra., Rasulullah saw. bersabda:
ما من ميت تصلي عليه أمة من المسلمين يبلغون مائة يشفعون له إلا شفعو فيه (صحيح مسلم)
Mayyit yang dishalati oleh seratus orang Muslimin sambil (berdoa) memintakan ampun baginya, tentu permohonan mereka akan diterima. (HR. Muslim, 1576)
                Mendoakan keluarga, khususnya kedua orang tua yang sudah wafat, merupakan anjuran agama. Karena orang yang sudah wafat tidak bisa lagi berbuat kebajikan. Yang bisa ia harapkan hanya 3 hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakan atau bersedekah untuknya (al-hadits). Jika ilmu dan harta tidak punya, maka doa anak-cuculah yang selalu ditunggu oleh ahli kubur.
Mengenai pilihan 7 hari, 40 hari, atau 100 hari untuk melakukan doa bersama, hal itu karena mengikuti kebiasan para sahabat dan ulama salafus shaleh. Imam Ahmad bin Hambal ra. menyatakan dalam kitab az-Zuhd, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi dan ad-Durr al-Mantsur:
حدثنا هاشم  بن القاسم قال حدثنا الاشجعي عن سفيان قال: قال طاوس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم  تلك الآيام
Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami: Al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan: Imam Thawus berkata : “Orang-orang yang meninggal dunia itu mendapat ujian berat selama 7 hari di dalam kubur merekaMaka kemudian para ulama salaf menganjurkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu.” (Al-Hawi li al-Fatawi, juz II, hal. 178 dan ad-Durr al-Mantsur 5/38)
Imam Ibnu Jarir at-Thabari mempertegas maksud hadits di atas sbb:
وأخرج ابن جرير في مصنفه عن الحارث بن أبي الحرث عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان : مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن سبعا, وأما المنافق فيقتن أربعين صباحا
Ibnu Jarir meriwayatkan dalam Mushannafnya, dari Ibnu Abi al-Harts, dari Ubaid ibn Umair, ia berkata: Yang diuji (di dalam kubur) adalah dua orang, yakni orang mukmin dan munafik. Orang mukmin diuji selama 7 hari, dan orang munafik diuji selama 40 hari (ad-Durr al-Mantsur, 5/38).

Imam Suyuthi menandaskan bahwa: “Tradisi bersedekah selama hari merupakan kebiasaan yang telah berlaku hingga sekarang (zaman Imam Suyuthi) di Mekah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi Saw. sampai sekarang. Dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat Nabi Saw)”.
Telah kita maklumi, kaum Muslimin yang mengadakan tahlil atau Yasinan, juga bersedekah dengan memberikan hidangan kepada para undangan. Pahala sedekah tersebut ditujukan untuk keluarga mereka yang sudah wafat.
Sedangkan istilah “haul” (peringatan satu tahunan setelah kematian) diambil dari sebuah ungkapan yang berasal dari hadist Nabi Saw. dari al-Waqidi:
كان النبي ص.م يزور الشهداء باحد فى كل حول, واذا بلغ الشعب رفع صوته  فيقول :سلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار ثم ابو بكر رضي الله عنه كل حول يفعل مثل ذلك ثم عمربن الخطاب ثم عثمان بن عفان رضي الله عنهما (اخرخه البيهقي)
Rasulullah saw. setiap haul (setahun sekali) berziarah ke makam para syuhada’ Perang Uhud (tahun ke 3 H.). Ketika Nabi saw. sampai di suatu tempat bernama Syi’b, beliau berseru: Semoga keselamatan tercurahkan bagi kalian atas kesabaran kalian (para syudaha’). Alangkah baiknya tempat kembali kalian di akhirat.” KemudianAbu Bakar juga melakukan seperti ituDemikian juga Umar bin Khatthab ra. dan Utsman bin Affan ra. (H.R. Baihaqi)












BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Salah satu cara penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para Walisongo tersebut ialah dengan cara mendakwah. Penyebaran Islam melalui dakwah ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat (sebagai objek dakwah), dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya. Di samping itu, para ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren sebagai sarana pendidikan Islam.
Organisasi Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) berdiri pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar. Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik. NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik.
Sedekah bumi dalam tradisi masyarakat jawa merupakan salah satu bentuk untuk menuangkan serta mencurahkan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat dan berkah yang telah diberikan-Nya. Tanpa mengurangi makna esensial yang terkandung dalam ritual sedekah bumi tersebut, sebagai manusia yang telah ditugasi dan dipercayai oleh Allah di muka bumi sebagai kholifatul Fir Ardi sudah sepatutnya kita renungkan kembali akan segala sikap yang telah diperbuat pada eksistensi bumi. Sebagai Kholifah yang bertanggung jawab penuh di bumi maka kita harus kembali memperdulikan serta melestarikan keadaan yang ada di dalamnya. Jangan sampai kita hanya melakukan berbagai kerusakan dan kebobrokan tanpa memperdulikan akibat pada akhirnya. Dengan kita memperhatikan dan memperdulikan bumi tanpa merusaknya sedikit pun, niscaya alam juga akan kembali bersahabat dengan manusia.
Membaca tahlil, Yasiin, atau doa apa saja bagi orang yang sudah wafat, hukumnya adalah sunnah (anjuran agama). Doa-doa tersebut telah menjadi tradisi secara turun-temurun sejak masa Shahabat hingga sekarang. Doanya tidak wajib sama, asalkan esensinya sama.
Karena hukumnya “hanya” sunnah, maka tidak melakukan tahlil atau Yasinan tidak apa-apa, tidak berdosa. Tapi bertahlil dan Yasinan, tentu lebih baik. Apalagi ditujukan untuk mendoakan para leluhur kita. Sebab, dulu mereka telah merawat, membesarkan, dan mendidik kita. Kini, setelah mereka wafat, sudah selayaknya kita mendoakan mereka.
Mengenai tuduhan SEBAGIAN kalangan bahwa tahlil dan Yasinan tidak punya dasar dalam syariat, itu hanyalah perbedaan pendapat yang sangat wajar terjadi dalam masalah-masalah furu’iyyah (hukum-hukum cabang dalam syariat). Tidak perlu dipermasalahkan. Yang mau tahlilan dipersilahkan, yang tidak mau tidak apa-apa. Wong, manfaat atau mudlaratnya kembali pada diri kita masing-masing. Tapi kami yakin, kita semua pada dasarnya ingin didoakan oleh keturunan kita, saat kita telah berada di alam kubur kelak.
3.2 KRITIK DAN SARAN
Suatu perbedaan dalam keyakinan itu hal yang wajar, semua orang punya idealisme dan pandangan tersendiri, benar atau tidaknya suatu perkara itu tergantung Allah SWT. Kita sebagai umat beragama harus menghargai pendapat dan keyakinan orang lain, kita diciptakan Allah sebagai khalifah dibumi bukan penghancur Agama itu sendiri. Setiap insan juga berhak memilih apa yang mereka anggap benar, dan tak seharusnya menyalahkan yang belum tentu salah.
Terlepas dari perkara Agama kita juga wajib melestarikan Budaya peninggalan Nenek Moyang kita, kita Negara Bhineka Tunggal Ika beragam macam bahasa, suku, agama, dan budaya. Melestarikan budaya juga wajib sebagai warga Negara Indonesia, kalau bukan kita yang melestarikan lalu siapa yang mempertahankan beribu ragam Budaya di Indonesia. Apakah harus Negara lain yang mengakui baru kita berontak dan mengakui kalau itu Budaya kita ? Jangan mementingkan kepentingan suatu organisasi, dan politik untuk memecah suatu kedaulatan Negara. Apalagi mengatasnamakan Agama untuk kepentingan pribadi bahkan politik. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai Budayanya, dan menjunjung tinggi perjuangan para pahlawannya.
Harapan kami, kalangan yang “anti tahlil dan Yasinan” itu tidak perlu menuduh bid’ah, kufur, apalagi syirik kepada umat Islam yang suka tahlilan. Sebab, dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa tuduhan kufur kepada sesama Muslim, jika tidak benar, maka akibatnya akan menimpa pihak penuduh sebelum ia wafat. Wal-‘iyadzu bilLaah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar