MAKALAH AGAMA
PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA
TENTANG BUDAYA ADAT-ISTIADAT JAWA
PEMBIMBING
:
FATKUR
MUIN, SAg., MM
DISUSUN
OLEH :
NUR
AGUS MAULAN
KELAS B MANAJEMEN
KELAS B MANAJEMEN
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI
CENDEKIA
BOJONEGORO
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada tim penulis sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul: “PANDANGAN
NAHDLATUL ULAMA TENTANG BUDAYA ADAT-ISTIADAT JAWA”
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan
tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk
itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Tim penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh
dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, tim penulis
telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga
dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, tim penulis dengan rendah hati
dan dengan tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan
makalah ini.
Akhirnya tim penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR
ISI .......................................................................................................... ii
BAB
I : PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah.................................................................... 1
1.3
Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................... 1
BAB
II : PEMBAHASAN
2.1 Proses Agama Islam Masuk Ke Tanah Jawa........................... 2
2.2
Nahdlatul Ulama...................................................................... 4
2.2
Pandangan Nahdlatul Ulama
Terhadap Budaya Adat-istiadat Jawa..................................... 5
Terhadap Budaya Adat-istiadat Jawa..................................... 5
BAB
III : PENUTUP
3.1 Kesimpulan
............................................................................ 9
3.2 Kritik
dan Saran ................................................................... 10
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Sebelum
Islam masuk ke tanah Jawa, mayoritas masyasarakat jawa menganut kepercayaan
animisme dan dinamisme. Selain menganut kepercayaan tersebut masyarakat Jawa
juga dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya Hindu dan Budha dari India. Seiring
dengan waktu berjalan tidak lama kemuadian Islam masuk ke Jawa melewati Gujarat
dan Persia dan ada yang berpendapat langsung dibawa oleh orang Arab. Kedatangan
Islam di Jawa dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan kubur bernama Fatimah
binti Maimun serta makam Maulana Malik Ibrahim. Saluran-saluran Islamisasi yang
berkembang ada enam yaitu: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan,
kesenian, dan politik.
Dengan
seiring berkembangnya zaman, Islam mulai terpecah menjadi beberapa aliran dan
organisasi. Salah satunya adalah Nahdlatul Ulama yang menjadi basis terbesar di
Indonesia, terutama ditanah jawa. Nahdlatul Ulama sangat erat kaitannya dengan
ajaran Walisongo yang menyiarkan agama ditanah jawa, dan Nahdlatul ulama
memiliki pandangan tersendiri mengenai Budaya adat istiadat yang sangat kental
ditanah jawa.
1.2 RUMUSAN MASALAH
2.1 Bagaimanakah proses agama
Islam masuk ke tanah Jawa ?
2.2 Apakah organisasi dan
aliran Islam Nahdlatul Ulama ?
2.3 Bagaimana pandangan
Nahdlatul Ulama mengenai Budaya dan Adat-Istiadat
Jawa ?
Jawa ?
1.3 TUJUAN DAN MANFAAT
3.1 Mengetahui proses agama
Islam masuk ke tanah Jawa.
3.2 Mengetahui organisasi
dan aliran Islam Nahdlatul Ulama ?
3.3 Mengetahui pandangan
Nahdlatul Ulama mengenai Budaya dan Adat-Istiadat
Jawa.
Jawa.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 PROSES AGAMA ISLAM MASUK KETANAH JAWA
Di Jawa, Islam masuk
melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya makam Fatimah
binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi
di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya, diperkirakan
Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia. Di samping
itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari Kasyan (satu
tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke
pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam tertua
berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana
Majapahit.
A. Masyarakat
Jawa Sebelum Islam Datang
Situasi kehidupan
“religius” masyarakat di Tanah Jawa sebelum datangnya Islam sangatlah
heterogen. Kepercayaan import maupun kepercayaan yang asli telah dianut oleh
orang Jawa. Sebelum Hindu dan Budha, masyarakat Jawa prasejarah telah memeluk
keyakinan yang bercorak animisme dan dinamisme. Pandangan hidup orang Jawa
adalah mengarah pada pembentukan kesatuan numinous antara alam nyata,
masyarakat, dan alam adikodrati yang dianggap keramat.
Di samping itu, mereka
meyakini kekuatan magis keris, tombak, dan senjata lainnya. Benda-benda yang
dianggap keramat dan memiliki kekuatan magis ini selanjutnya dipuja, dihormati,
dan mendapat perlakuan istimewa.
Pengaruh Hindu-Budha dalam
masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang menerima
pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah melalui proses
akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga berpengaruh
terhadap sistem agama.
Sejak awal, budaya Jawa
yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama
apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar jika
kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba memuat).
B. Peranan
Wali Songo dan Metode Pendekatannya
Era Wali Songo adalah era
berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan
kebudayaan Islam. Wali Songo adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia,
khususnya di Jawa peranan Wali Songo sangat besar dalam mendirikan kerajaan
Islam di Jawa.
Di Pulau Jawa, penyebaran
agama Islam dilakukan oleh Walisongo (9 wali). Wali ialah orang yang sudah
mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Para wali ini
dekat dengan kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan pengesahan atas sah
tidaknya seseorang naik tahta. Mereka juga adalah penasihat sultan.
Karena dekat dengan
kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan atau susuhunan (yang
dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah sebagai berikut:
- Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim). Inilah wali yang pertama datang ke Jawa pada abad ke-13 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik. Dimakamkan di Gresik, Jawa Timur.
- Sunan Ampel (Raden Rahmat). Menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Beliau merupakan perancang pembangunan Masjid Demak.
- Sunan Drajad (Syarifudin). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama di sekitar Surabaya. Seorang sunan yang sangat berjiwa sosial.
- Sunan Bonang (Makdum Ibrahim). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang. Sunan yang sangat bijaksana.
- Sunan Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka Said). Murid Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di Jawa Tengah. Seorang pemimpin, pujangga, dan filosof. Menyiarkan agama dengan cara menyesuaikan dengan lingkungan setempat.
- Sunan Giri (Raden Paku). Menyiarkan Islam di Jawa dan luar Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku. Menyiarkan agama dengan metode bermain.
- Sunan Kudus (Jafar Sodiq). Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah. Seorang ahli seni bangunan. Hasilnya ialah Masjid dan Menara Kudus.
- Sunan Muria (Raden Umar Said). Menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak antara Jepara dan Kudus, Jawa Tengah. Sangat dekat dengan rakyat jelata.
- Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Seorang pemimpin berjiwa besar.
Salah satu cara penyebaran
agama Islam yang dilakukan oleh para Wali tersebut ialah dengan cara mendakwah.
Penyebaran Islam melalui dakwah ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi
masyarakat (sebagai objek dakwah), dengan menggunakan pendekatan sosial budaya.
Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan jenis budaya setempat
yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya. Di samping itu, para ulama ini
juga mendirikan pesantren-pesantren sebagai sarana pendidikan Islam.
2.2
NAHDLATUL ULAMA
A. Sejarah
Keterbelakangan baik secara mental,
maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat
kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk
memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan
Nasional".
Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat
pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain.
Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini
gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional
tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri"
(kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan
keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis
untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar
itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga
menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di
beberapa kota.
Berangkan komite dan berbagai
organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu
untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk
mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926).
Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar
organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian
diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
B. Paham keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah,
sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum
ekstrem naqli
(skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah,
tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara
berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan
Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi.
Kemudian dalam bidang fiqih
lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i
dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi,
imam Maliki,dan
imam Hanbali
sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara
dalam bidang tasawuf,
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan
antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah
pada tahun 1984,
merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal
jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih
maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan
tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial
dalam NU.
2.3
Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Budaya Adat-Istiadat Jawa
A.
Sedekah Bumi
Bersih
desa/selamatan desa, ambengan, kenduri dan lain sebagainya memiliki intisari
dari tradisi-tradisi tersebut adalah sedekahan untuk meminta ridho Allah SWT.
Supaya dijauhkan dari bencana dan bala’, bersih desa/ sedekah bumi hukumnya
boleh jika niatnya untuk meminta ridho Allah SWT dan ingin dihindarkan dari
bahaya penyakit, pagebluk dan lain-lain agar desanya selalu diberi keselamatan
oleh Allah SWT. Kalau niatnya seperti itu hukumnya sunnat, sebab
sedekah pada prinsipnya merupakan ajaran islam. Sabda nabi Muhammad SAW :
اَلصَّدَقَةُ
تَمْنَعُ سَبْعِيْنَ نَوْعًا مِنَ الاَنْوَاعِ الْبَلاَءِ اَهْوَانُهَا الْجَدَامُ
وَالْبَرصُ (درة النّاصحينَ
Shodaqoh itu dapat menolak tujuh
puluh macam bala’ dan bencana yang paling ringan diantaranya ialah penyakit
kusta dan belang/sopak
Dari
hadits di atas, sudah jelas dan terang jika sedekah bumi atau kenduri tujuannya
”ridho Allah” dan niat bersedekah hukumnya sunnat. Jika sedekah bumi/bersih
desa yang disertai sesaji dan penghormatan danyang/ yang mbahurekso /penjaga
desa tersebut, maka adat kebiasaan itu haram (peninggalan animisme) oleh sebab
itu marilah kita dari umat islam yang awam kita beri pengarahan dan pengertian
agar tidak terus menerus melakukan kesyirikan. Adapun sesaji ini bukan dari
ajaran islam melainkan peninggalan dari kuma (non muslim) sebab pelaksanaannya
amat berbeda dengan sedekah . Sesaji tujuannya diperuntukkan pada para
dewa-dewa/arwah-arwah tertentu seperti membuat cok bakal untuk para danyang, menyiapkan
makanan dan minuman yang diperuntukkan orang tuanya yang meninggalkan, sebab
menurut kepercayaanyaorang tuanya yang sudah mati pada malam itu pulang minta
makan,minum dan lain-lain.
B. Tahlilan
Membaca
tahlil atau Surat Yasin sejatinya adalah berzikir; zikir yang bertujuan
mendoakan keluarga yang telah wafat. Hal itu bisa dilakukan secara individual
maupun berjamaah. Jika dilakukan secara individual, maka kita bisa melakukannya
kapan saja dan di mana saja. Jika dilakukan secara berjamaah, tentu harus
berkumpul di tempat khusus. Zikir yang dilakukan secara bersama-sama, merupakan
ibadah yang dianjurkan oleh Islam. Rasulullah SAW bersabda:
لاَيَقْعُدُ
قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ عَزَّوَجَلَّ إِلاَّحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ
وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ
اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ (رواه مسلم)
Tidaklah
berkumpul suatu kaum sambil berzikir kepada Allah Swt, kecuali mereka akan dikelilingi oleh para malaikat. Allah Swt. akan melimpahkan rahmat kepada mereka, memberikan
ketenangan hati, dan Allah akan memuji mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya. (HR. Muslim)
Imam as-Syafi’i ra. menyatakan: “Sesungguhnya Allah Swt.
telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, bahkan juga
memerintahkan kepada Rasul-Nya. Apabila Allah Swt. memperkenankan umat Islam
mendoakan saudaranya yang masih hidup, tentu diperbolehkan juga mendoakan
saudaranya yang telah wafat. Dan barokah
doa tersebut Insya Allah akan sampai kepada
yang didoakan.
Dalam
hadits riwayat Aisyah ra., Rasulullah
saw. bersabda:
ما
من ميت تصلي عليه أمة من المسلمين يبلغون مائة يشفعون له إلا شفعو فيه (صحيح مسلم)
Mayyit yang dishalati oleh seratus orang Muslimin sambil (berdoa) memintakan ampun baginya, tentu permohonan mereka akan diterima. (HR. Muslim, 1576)
Mendoakan keluarga, khususnya kedua orang tua yang sudah wafat, merupakan
anjuran agama. Karena orang yang sudah wafat tidak bisa lagi berbuat kebajikan.
Yang bisa ia harapkan hanya 3 hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakan atau bersedekah untuknya
(al-hadits). Jika ilmu dan harta tidak punya, maka doa anak-cuculah yang selalu
ditunggu oleh ahli kubur.
Mengenai
pilihan 7 hari, 40 hari, atau 100 hari untuk melakukan doa bersama, hal itu
karena mengikuti kebiasan para sahabat dan
ulama salafus shaleh. Imam
Ahmad bin Hambal ra. menyatakan
dalam kitab az-Zuhd, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin
as-Suyuthi dalam kitab Al-Hawi
li al-Fatawi dan ad-Durr al-Mantsur:
حدثنا
هاشم بن القاسم قال حدثنا الاشجعي عن سفيان قال: قال طاوس إن الموتى يفتنون
في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الآيام
Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami: Al-Asyja’i meriwayatkan
kepada kami dari Sufyan: Imam Thawus berkata : “Orang-orang yang meninggal dunia itu
mendapat ujian berat selama 7 hari di dalam kubur mereka. Maka kemudian para ulama salaf menganjurkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia
selama tujuh hari itu.” (Al-Hawi li al-Fatawi, juz II, hal. 178 dan
ad-Durr al-Mantsur 5/38)
Imam Ibnu Jarir at-Thabari mempertegas
maksud hadits di atas sbb:
وأخرج ابن جرير في مصنفه عن الحارث بن أبي
الحرث عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان : مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن سبعا,
وأما المنافق فيقتن أربعين صباحا
Ibnu
Jarir meriwayatkan dalam Mushannafnya, dari Ibnu Abi al-Harts, dari Ubaid ibn
Umair, ia berkata: Yang diuji (di dalam kubur) adalah dua orang, yakni orang
mukmin dan munafik. Orang mukmin diuji selama 7 hari, dan orang munafik diuji
selama 40 hari (ad-Durr al-Mantsur, 5/38).
Imam Suyuthi menandaskan bahwa: “Tradisi bersedekah selama 7 hari merupakan kebiasaan yang telah berlaku hingga
sekarang (zaman Imam Suyuthi) di Mekah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu
tidak ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi Saw. sampai sekarang. Dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi
pertama (masa sahabat Nabi Saw)”.
Telah kita maklumi, kaum Muslimin yang mengadakan tahlil
atau Yasinan, juga bersedekah dengan memberikan hidangan kepada para undangan.
Pahala sedekah tersebut ditujukan
untuk keluarga mereka yang sudah wafat.
Sedangkan istilah “haul” (peringatan satu tahunan setelah kematian)
diambil dari sebuah ungkapan yang berasal dari hadist Nabi Saw. dari al-Waqidi:
كان النبي ص.م يزور الشهداء باحد فى كل حول,
واذا بلغ الشعب رفع صوته فيقول :سلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار ثم
ابو بكر رضي الله عنه كل حول يفعل مثل ذلك ثم عمربن الخطاب ثم عثمان بن عفان رضي
الله عنهما (اخرخه البيهقي)
Rasulullah
saw. setiap haul (setahun sekali) berziarah ke makam para syuhada’ Perang Uhud (tahun ke 3 H.). Ketika Nabi saw. sampai di suatu tempat bernama Syi’b,
beliau berseru: Semoga keselamatan tercurahkan bagi kalian atas kesabaran
kalian (para syudaha’). Alangkah baiknya tempat kembali
kalian di akhirat.” KemudianAbu Bakar juga melakukan seperti itu. Demikian juga Umar bin Khatthab ra. dan Utsman bin Affan ra. (H.R. Baihaqi)
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Salah satu cara penyebaran
agama Islam yang dilakukan oleh para Walisongo tersebut ialah dengan cara
mendakwah. Penyebaran Islam melalui dakwah ini berjalan dengan cara para ulama
mendatangi masyarakat (sebagai objek dakwah), dengan menggunakan pendekatan
sosial budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan jenis
budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya. Di samping itu,
para ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren sebagai sarana pendidikan
Islam.
Organisasi Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) berdiri pada 16 Rajab
1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari
sebagai Rais Akbar. Untuk
menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi
(prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian
diejawantahkan dalam khittah NU, yang
dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam
bidang sosial, keagamaan dan politik. NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah,
sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum
ekstrem naqli
(skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah,
tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik.
Sedekah bumi dalam tradisi masyarakat jawa merupakan salah
satu bentuk untuk menuangkan serta mencurahkan rasa syukur kepada Allah SWT
atas nikmat dan berkah yang telah diberikan-Nya. Tanpa mengurangi makna
esensial yang terkandung dalam ritual sedekah bumi tersebut, sebagai manusia
yang telah ditugasi dan dipercayai oleh Allah di muka bumi sebagai kholifatul
Fir Ardi sudah sepatutnya kita renungkan kembali akan segala sikap yang telah
diperbuat pada eksistensi bumi. Sebagai Kholifah yang bertanggung jawab penuh
di bumi maka kita harus kembali memperdulikan serta melestarikan keadaan yang
ada di dalamnya. Jangan sampai kita hanya melakukan berbagai kerusakan dan
kebobrokan tanpa memperdulikan akibat pada akhirnya. Dengan kita memperhatikan
dan memperdulikan bumi tanpa merusaknya sedikit pun, niscaya alam juga akan
kembali bersahabat dengan manusia.
Membaca
tahlil, Yasiin, atau doa apa saja bagi orang yang sudah wafat, hukumnya adalah
sunnah (anjuran agama). Doa-doa tersebut telah menjadi tradisi secara
turun-temurun sejak masa Shahabat hingga sekarang. Doanya tidak wajib sama,
asalkan esensinya sama.
Karena
hukumnya “hanya” sunnah, maka tidak melakukan tahlil atau Yasinan tidak
apa-apa, tidak berdosa. Tapi bertahlil dan Yasinan, tentu lebih baik. Apalagi
ditujukan untuk mendoakan para leluhur kita. Sebab, dulu mereka telah merawat,
membesarkan, dan mendidik kita. Kini, setelah mereka wafat, sudah selayaknya
kita mendoakan mereka.
Mengenai
tuduhan SEBAGIAN kalangan bahwa tahlil dan Yasinan tidak
punya dasar dalam syariat, itu hanyalah perbedaan pendapat yang sangat wajar
terjadi dalam masalah-masalah furu’iyyah (hukum-hukum cabang
dalam syariat). Tidak perlu dipermasalahkan. Yang mau tahlilan dipersilahkan,
yang tidak mau tidak apa-apa. Wong, manfaat atau mudlaratnya
kembali pada diri kita masing-masing. Tapi kami yakin, kita semua pada dasarnya
ingin didoakan oleh keturunan kita, saat kita telah berada di alam kubur kelak.
3.2 KRITIK DAN
SARAN
Suatu
perbedaan dalam keyakinan itu hal yang wajar, semua orang punya idealisme dan
pandangan tersendiri, benar atau tidaknya suatu perkara itu tergantung Allah
SWT. Kita sebagai umat beragama harus menghargai pendapat dan keyakinan orang
lain, kita diciptakan Allah sebagai khalifah dibumi bukan penghancur Agama itu
sendiri. Setiap insan juga berhak memilih apa yang mereka anggap benar, dan tak
seharusnya menyalahkan yang belum tentu salah.
Terlepas
dari perkara Agama kita juga wajib melestarikan Budaya peninggalan Nenek Moyang
kita, kita Negara Bhineka Tunggal Ika beragam macam bahasa, suku, agama, dan
budaya. Melestarikan budaya juga wajib sebagai warga Negara Indonesia, kalau
bukan kita yang melestarikan lalu siapa yang mempertahankan beribu ragam Budaya
di Indonesia. Apakah harus Negara lain yang mengakui baru kita berontak dan
mengakui kalau itu Budaya kita ? Jangan mementingkan kepentingan suatu
organisasi, dan politik untuk memecah suatu kedaulatan Negara. Apalagi
mengatasnamakan Agama untuk kepentingan pribadi bahkan politik. Bangsa yang
besar adalah bangsa yang menghargai Budayanya, dan menjunjung tinggi perjuangan
para pahlawannya.
Harapan
kami, kalangan yang “anti tahlil dan Yasinan” itu tidak perlu menuduh bid’ah,
kufur, apalagi syirik kepada umat Islam yang suka tahlilan. Sebab,
dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa tuduhan kufur kepada sesama Muslim, jika
tidak benar, maka akibatnya akan menimpa pihak penuduh sebelum ia wafat. Wal-‘iyadzu
bilLaah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar